ME

ME

Sabtu, 26 Februari 2011

Kemiskinan Yang Bijak “Miskin Tetapi Merokok”


Kemiskinan Yang Bijak “Miskin Tetapi Merokok”

Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untyuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada dalam garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, sandang, dan papan. Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil makmur.
Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal:
1)      Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan.
2)      Posisi manusia dalam lingkungan sekitar.
3)      Kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi.
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalam hal ini kemiskinan dapat dinilai tinggi atau rendah. Terhadap posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan ukuran kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi pendapatanya ditengah-tengah masyarakat sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan, apakah bernilai gizi cukup dengan nilai protein dan kalori cukup sesuai dengan tingat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, kedaan iklim lingkungan yang dialaminya.
Hal-hal diatas adalah ciri-ciri kemiskinan secara harfiah, minyikapi kemiskinan tersebut saya teringat pada sosok seseorang yang saya kenal di bilangan Jakarta Pusat tempat dulu bekerja. Saya tinggal di sebuah kost yang lumayan ramai dalam sebuah komplek kos-kosan sederhana. Tetangga sekaligus teman kerjaku adalah perokok yang bisa dibilang kelas berat, maklum satu hari beliau bisa menghabiskan dua bungku rokok mild ternama Indonesia.
Sedangkan putranya yang baru berumur empat tahun lebih sering terdengar merengak meminta jajan atau mainan, saya rasa hal yang lumrah jika balita meminta jajan atau mainan dengar rengekanya. Lima ribu rupiah adalah nilai nominal yang paling tinggi akan diberikan oleh Ibu dari anak tersebut untuk putranya jajan atau beli mainan, apabila nilai nominal tersebut melebihi dari lima ribu rupiah, biasanya si-Ibu akan berdumel diikuti amarah sang Ayah. “Kamu jajan gede-gede emang kita orang kaya, bisa bego kamu jajan melulu” kata sang Ayah.
Belum lagi tambahan kosakata unik menjurus kasar dari sang Ibu “bego loh jajan aja gede, tapi cengeng kaya cewe aja”. Weeeeeh saya harap kita tidak seperti mereka jika punya anak kelak, amin. Ironis memang, seseorang yang sudah sadar bahwa kekuatan ekonominya yang terbatas tetapi masih saja merokok. Pintar kah Ayah yang seperti itu? Untung saja sang Ibu tidak merokok dan terlihat jarang sekali jajan.
Rokok yang seharga Rp 11.000,- perbungkus sebenarnya tidak sebanding dengan jajan sang anak yang dibatasi hanya Rp 5.000,- perhari. Bagaimana jika kita kalkulasi nilai seluruhnya selama satu bulan? Sang Ayah akan menghabiskan biaya sebesar Rp 660.000,- hanya untuk rokok sedangkan sang anak hanya menhabiskan Rp 150.000,-. Bayangkan perbandingan Rp 510.000,- dari rokok sang Ayah, alangkah baiknya jika uang itu untuk membeli makan yang lebih bergizi atau tabungan untuk pendidikan sang anak.
Pandaikah tetanggaku itu? Sebuah pertanyaan yang sebaiknya untuk menjadi bahan renungan saja, pengalaman tetanggaku akan aku simpan dan dijadikan sebuah pembelajaran hidup yang berharga. Bijak dalam menggunakan uang tentunya akan membawa kebaikan untuk semua. Biasakan menabung untuk hari esok, biasakan pula berhemat untuk masa depan. Menggunakan uang dengan bijak adalah wajib dan kita pandai dalam berprilaku adalah gambaran kepribadian yang bijak.

Afrizal Azhari
Ilmu Budaya Dasar